Bacaan tasyahud di dalamnya disebutkan assalamu ‘alaika ayyuhan nabi, artinya salam untukmu wahai Nabi. Ini menggunakan lafazh orang kedua, seperti orang yang diajak bicara. Sedangkan dalam beberapa riwayat disebutkan lafazh tersebut hendaknya diganti dengan kata ganti orang ketiga menjadi ‘assalamu ‘alan nabi’, artinya salam bagi nabi. Apakah perlu mengganti dengan lafazh orang ketiga ataukah tetap seperti yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ajarkan?
Perlu dipahami bahwa hadits-hadits yang membicarakan bacaan tasyahud, yang lebih sempurna adalah bacaan dari Ibnu ‘Abbas. Demikian pandangan dari ulama Syafi’iyah.
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Bacaan tasyahud yang paling sempurna menurut kami adalah bacaan tasyahud dari Ibnu ‘Abbas, lalu bacaan dari Ibnu Mas’ud, lalu bacaan dari Ibnu ‘Umar.” (Al Majmu’, 3: 304). Hal yang sama juga dikatakan oleh Imam Nawawi dalam Roudhotuth Tholibin, 1: 186.
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,
عَلَّمَنِى رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – وَكَفِّى بَيْنَ كَفَّيْهِ التَّشَهُّدَ ، كَمَا يُعَلِّمُنِى السُّورَةَ مِنَ الْقُرْآنِ التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ ، السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِىُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ ، السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ .وَهْوَ بَيْنَ ظَهْرَانَيْنَا ، فَلَمَّا قُبِضَ قُلْنَا السَّلاَمُ . يَعْنِى عَلَى النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengajariku tasyahud -dan telapak tanganku berada di dalam genggaman kedua telapak tangan beliau– sebagaimana beliau mengajariku surat dalam Al Qur’an: ‘At tahiyyaatu lillaah, wash shalawaatu wath thayyibaat, assalaamu’alaika ayyuhan-nabiyyu warahmatullaahi wa barakaatuh, as-salaamu ‘alainaa wa ‘alaa ‘ibaadillaahish-shaalihiin. Asyhadu al-laa ilaaha illallaah wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa rasuuluh (artinya: Segala ucapan selamat, shalawat, dan kebaikan adalah bagi Allah. Mudah-mudahan kesejahteraan dilimpahkan kepadamu wahai Nabi beserta rahmat Allah dan barakah-Nya. Mudah-mudahan kesejahteraan dilimpahkan pula kepada kami dan kepada seluruh hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad itu adalah hamba-Nya dan utusan-Nya)’. Bacaan itu kami ucapkan ketika beliau masih ada di antara kami. Adapun setelah beliau meninggal, kami mengucapkan ‘as salaamu ‘alan Nabiy (shallallaahu ‘alaihi wa sallam)” ” (HR. Bukhari no. 6265).
Guru kami, Syaikh Abdul Aziz Ath Thorifi hafizhahullah menuturkan bahwa amalan tersebut hanyalah amalan sahabat Nabi. Namun tidak mengapa mengamalkan semuanya. Para sahabat ketika bersafar saja masih mengucapkan assalamu’alaika ayyuhan nabi dalam tasyahud, tidak beralih mengganti menjadi assalamu ‘alan nabi. Jadi, lafazh tasyahud tetap sebagaimana yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ajarkan. Oleh karenanya Ibnu Mas’ud mengatakan, “Demikianlah yang diajarkan kepada kami dan demikian yang kami ajarkan.” Maksudnya adalah kami mengajarkan kepada yang lainnya seperti yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ajarkan tanpa ada penambahan ataukah pengurangan. Siapa yang mengamalkan seperti yang Ibnu Mas’ud amalkan, maka tidaklah masalah, itulah asalnya. Siapa yang mengamalkan seperti yang diamalkan oleh Ibnu ‘Abbas dan juga yang diceritakan oleh ‘Atho dari beberapa sahabat, tidaklah masalah.” (Lihat Sifat Shalat Nabi karya Syaikh Ath Thorifi, hal. 143).
Al Lajnah Ad Da-imah (Komisi Fatwa di Saudi Arabia) pernah ditanya, “Dalam tasyahud apakah seseorang membaca bacaan “assalamu ‘alaika ayyuhan nabi” atau bacaan “assalamu ‘alan nabi”? ‘Abdullah bin Mas’ud pernah mengatakan bahwa para sahabat dulunya sebelum Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, mereka mengucapkan “assalamu ‘alaika ayyuhan nabi”. Namun setelah beliau wafat, para sahabat pun mengucapkan “assalamu ‘alan nabi”.
Jawab para ulama yang berada di komisi fatwa tersebut, “Yang lebih tepat, seseorang ketika tasyahud dalam shalat mengucapkan “assalamu ‘alaika ayyuhan nabi wa rohmatullahi wa barokatuh”. Alasannya, inilah yang lebih benar yang berasal dari berbagai hadits. Adapun riwayat Ibnu Mas’ud mengenai bacaan tasyahud yang mesti diganti setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat –jika memang itu benar riwayat yang shahih-, itu hanyalah hasil ijtihad dari Ibnu Mas’ud dan tidak bertentangan dengan hadits-hadits shahih yang ada. Seandainya ada perbedaan hukum bacaan antara sebelum Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dan setelah beliau wafat, maka pasti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri yang akan menjelaskannya pada para sahabat.
(Fatawa Al Lajnah Ad Daimah no. 8571, pertanyaan pertama. Yang menandatangani fatwa ini adalah Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz selaku ketua, Syaikh ‘Abdur Rozaq ‘Afifi selaku wakil ketua, Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud dan ‘Abdullah bin Ghodyan selaku anggota)
Semoga bermanfaat.
—
Selesai disusun di siang hari di Pesantren DS, 24 Syawal 1435 H
Akhukum fillah: Muhammad Abduh Tuasikal
Ikuti status kami dengan memfollow FB Muhammad Abduh Tuasikal, Fans Page Mengenal Ajaran Islam Lebih Dekat, Twitter @RumayshoCom, Instagram RumayshoCom
—
Telah hadir tiga buku terbaru karya Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal, MSc: 1- “Bermodalkan Ilmu Sebelum Berdagang” (Rp.30.000), 2- “Panduan Mudah Tentang Zakat” (Rp.20.000,-), 3- Buku Saku “10 Pelebur Dosa” (Rp.6.000,-), semuanya terbitan Pustaka Muslim Yogyakarta (biaya belum termasuk ongkos kirim).
Segera pesan via sms +62 852 00 171 222 atau BB 2A04EA0F atau WA +62 8222 604 2114. Kirim format pesan: nama buku#nama pemesan#alamat#no HP#jumlah buku.